Jumat, 09 Desember 2011

Lalat, Sehina Itukah Dia, atau Dia Lebih Mulia Dari Itu?


Tidak ada entitas kehidupan yang tercipta sia-sia.
Sadar akan hal ini, penulis berupaya menyuguhkan tulisan singkat tentang hakikat penciptaan lalat. Makhluk lemah ini sering kali dituding oleh sebagian dari mereka sebagai serangga pembawa sial, kuman penyakit, dan hewan yang cukup mengganggu. Akan tetapi, pernahkah mereka memikirkan hakikat penciptaannya?

Hampir semua jenis serangga, termasuk lalat, tidak terlihat di musim dingin, mereka nantinya muncul beterbangan di awal musim semi, tetapi sebagian dari mereka, seperti lalat hijau telah menampakkan diri di penghujung musim dingin.
Tentunya, fenomena seperti ini membangkitkan selera tanya pemerhati yang berkata: “rahasia apa lagi di balik fenomena ini? Apakah di sana ada pesan-pesan kehidupan untuk manusia?”

Di musim panas sampah dan bangkai binatang cepat mengalami pembusukan oleh pengaruh bakteri. Olehnya itu, untuk menekan bahaya bakteri tersebut, Allah menciptakan lalat di luar perhitungan matematis sebagai pembasmi gratis terhadap kuman-kuman penyakit.

Syekh Mutawallî as-Sya’râwî dengan singkat mengatakan:
Sebagian manusia bertanya: “apa hikmah penciptaan lalat di kosmos ini?” mereka tidak tahu bahwa lalat senantiasa memberikan layanan jasa yang sangat urgen, dia memakan kotoran dan kuman penyakit yang melengket di tubuhnya, dan seandainya manusia memproteksi diri dengan kebersihan, pasti lalat tidak mengerumuni mereka.

Jadi, setiap entitas kehidupan memerankan fungsi mereka dengan teratur. Sesungguhnya keteraturan yang apik itu datang dari Sang Pencipta yang Maha Mengetahui lagi Bijak. Dan selagi Dia yang Bijak yang menciptakan, maka tidak layak bagi mereka membantah dan berkata: “kenapa lagi dia tercipta?” Karena setiap makhluk punya tugas tersendiri di alam ini.”[1]

Sebelumnya, Bediuzzaman Said Nursi mendeskripsikan fungsi penciptaan makhluk ini dengan panjang lebar, beliau berkata:
“Sesungguhnya lalat sangat memerhatikan kebersihan, dia senantiasa membersihkan muka, mata dan sayapnya, seperti orang yang sedang berwudhu. Olehnya itu, tanpa ragu, jenis makhluk ini punya tugas penting dan mulia, tetapi kaca mata hikmah dan ilmu manusia tidak mampu menangkap semua fungsi yang sedang dilaksanakan.

Di antara hewan yang diciptakan Allah binatang buas, pemakan daging (karnivor). Mereka seperti petugas kebersihan yang menjalankan tugas dengan begitu sempurna. Dengan melahap bangkai binatang darat dan laut, mereka telah menjaga kebersihan laut dan udara dari polusi.

Di lain sisi, di sana ada burung-burung pemangsa yang siap mencengkeram bangkai binatang laut dan darat sebelum membusuk. Dengan desain indera perasa yang Allah ciptakan terhadapnya, mereka mampu menangkap sinyal bangkai dari jarak tempuh sekitar 6 jam perjalanan. Seandainya petugas kebersihan ini tidak ada, dunia sungguh menyedihkan dan wajah laut murung tidak berseri.

Tidak jauh dari itu, lalat punya fungsi serupa. Serangga ini telah diformat khusus untuk membasmi kuman penyakit yang tidak terlihat oleh kasat mata. Dia bukan pembawa kuman, melainkan dia penghancur pelbagai basil yang berbahaya dengan memakan dan mendaur ulang materi beracun ini menjadi materi lain, sehingga dengan sendirinya penyakit-penyakit pun tidak tersebar dalam skala besar dan menakutkan.


Bukti nyata bahwa mereka makhluk petugas kebersihan, pembasmi bahan-bahan kimia yang mengancam, dan keberadaannya penuh dengan hikmah, adalah jumlahnya yang tidak terhitung di musim panas. Bukankah materi yang bermanfaat itu diperbanyak kopiannya?”[2]

Yang menarik lagi dari hewan ini, justifikasi hukum dari hadits bahwa spesies ini, meskipun datang dari kotoran, tetapi ia diperlengkapi dengan anti-bakteri.
Ini telah ditegaskan sabda Nabi Saw berikut ini:

(إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ، ثم لْيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً، وَفِى الآخَرِ دَاءً).
“Jika lalat jatuh di tempat minum (gelas) salah seorang dari kalian, maka celupkan semua tubuhnya. Sesungguhnya di salah satu sayapnya ada obat, dan di sayap lain ada penyakit.”[3]

Jika Anda bertanya dan berkata: “Apakah mungkin lalat punya anti-bakteri, sementara, dia hidup di kotoran? Tolong buktikan dengan dalil-dalil ilmiah?”
Kebenaran medis Nabi Saw tersebut, yang diingkari oleh sebagian orientalis, telah dibuktikan oleh kedokteran kuno dan modern.

Imam Ibn Qutaiba berkata:
“Ahli medis kuno menganggap bahwa lalat yang diaduk dengan serbuk antimon [4] dapat menjadi ramuan celak yang ampuh mempertajam penglihatan dan mempertebal pertumbuhan bulu-bulu mata.”[5]
Olehnya itu, bagi Imam Ibn Qayyîm sendiri, hadits ini tidak patut diingkari oleh mereka, karena bukan hanya lalat saja seperti ini, tetapi ular, lebah dan yang lain punya mekanisme serupa.

Beliau menjelaskan:
“Sebagian dari mereka merasa aneh terhadap penyakit dan obat yang ditemukan dalam satu makhluk. Itu bukanlah keanehan, sesungguhnya mulut lebah membawa madu dan pantatnya menyimpan sengat, bisa ular dapat dilumpuhkan dengan ramuan Tiryak (pengobatan kuno yang komposisinya terdiri dari bisa dan serbuk daging ular yang dicampur dan diaduk rata), dan mereka menyarankan kepada korban yang mukanya digigit anjing untuk ditutupi. Karena jika lalat hinggap, penyakitnya dapat bertambah parah.”[6]

Dunia medis modern pun telah menemukan hal yang tidak jauh beda dari penemuan di atas. Ini dapat dilihat di laporan medis mereka berikut ini:
Karena tabiat lalat yang tercipta di lingkungan kotor, maka sebagian kotoran tersebut melengket di tubuhnya, dan sebagian lain dimakan, yang kemudian menjadi materi beracun yang lebih dikenal dengan anti-bakteri (bakterionag).

Zat beracun tidak dapat bertahan hidup, atau punya pengaruh terhadap kekebalan tubuh selama anti-bakteri ini ada di tubuh lalat.
Olehnya itu, jika seekor lalat yang membawa kuman penyakit jatuh di makanan dan minuman, maka pemusnah kuman yang paling ampuh anti-bakteri yang tersimpan di rongga dalam lalat itu sendiri yang dekat di salah satu sayapnya.

Tentunya, dengan mencelupkan semua tubuh lalat cukup untuk membunuh kuman-kuman yang melengket di tubuhnya. Hal ini telah dibuktikan medis barat.[7]

Pendek kata, medis kenabian telah terbukti kebenarannya oleh medis kuno dan modern. Tidak ada celah bagi mereka yang ingin menuding teks-teks Islam sebagai teks agama yang tidak riil dan relevan dengan dunia nyata.
Ini mengindikasikan kebesaran dan keagungan Sang Maha Penguasa, yang ciptaan- ciptaan-Nya dapat menjadi guru tersendiri bagi mereka yang ingin menangkap bisikan-bisikan hakikat penciptaan dan kehidupan.


Keurgensian makhluk ini tidak berhenti di sini saja, tetapi ia diabadikan sebagai bahan baku celaan Al-Qur’an terhadap orang-orang musyrik.
Allah SWT berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ ۖ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ۚ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ ﴿٧٣﴾
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al-Hajj [22]: 73)

Hemat penulis, lalat makhluk yang paling lemah, tetapi ia mengetahui kelemahannya. Di lain sisi, penyembah berhala, makhluk lemah, tidak menyadari kelemahannya, bahkan ia memberikan justifikasi ketuhanan kepada berhala-berhala yang tidak punya kekuatan sedikit pun.
Olehnya itu, kelemahan yang disadari dan diposisikan pada tempatnya lebih baik dari sejuta kesombongan dan keangkuhan yang menyengsarakan.

Sesungguhnya apa yang mereka anggap kuat, hakikatnya lemah di hadapan Allah, penyembah dan sembahan tidak dapat mengembalikan sesuatu yang telah dirampas lalat dari mereka. [8] Apa lagi jika mereka diminta menciptakan makhluk ajaib ini. Sungguh, itu cemooh yang mencoreng muka mereka di hadapan seluruh entitas kehidupan, celaan yang meninggalkan pilu dan malu. [9]

Demikianlah telaah imaniah singkat tentang justifikasi negatif terhadap lalat yang jauh dari nilai-nilai keimanan, hewan yang menyimpan seribu satu keajaiban penciptaan.

Di akhir tulisan ini, saya mengajak pemerhati tema-tema keislaman menyimpulkan apa yang dipaparkan di atas:
“Telaah rahasia-rahasia penciptaan lalat dengan penuh keimanan! ia lemah tapi tidak sombong, dengan kelemahan dia menjadi kuat, makhluk yang melukiskan keagungan penciptaan yang tidak terhingga, petugas kebersihan harian umat manusia yang tidak disadari.

Mereka tidak pernah meminta gaji, yang mereka inginkan hanyalah kesadaran manusia untuk menjadikan mereka objek telaah imaniah yang menyuguhkan aneka ragam makna kehidupan dan ketuhanan.
Dia tidak kotor meski dari tempat kotor, tidak membawa kuman kecuali obatnya telah siap, dan dia senantiasa menyeru Anda untuk menjaga kebersihan. Subhanallah wa Alhamdulillah!”


Catatan Kaki:
[1] Tafsir as-Sya’râwî, vol. 2, hlm. 699
[2] Lihat: Ustadz Bediuzzaman Said Nursi, Masâil Daqîqah fi al-Ushûl wa al-Aqîdah, diterjemahkan oleh Ihsân Qâsim as-Shâlihî, Sözler Publication, cet. 2, 2003 M, hlm. 7-9
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh Abi Hurairah ra., dan dikeluarkan oleh Imam Bukhari di Shahihnya, kitab at-Tib, bab Isâ waqaa adz-Zubâb fi Inâi Ahadikum, hadits, no: 5782, hlm. 1594
[4] antimon: logam berwarna putih perak yang mudah dihancurkan menjadi serbuk dan dicampur dengan logam-logam lain; batu serawak. [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, cet. 3, 1990 M, hlm. 43]
[5] Imam Abî Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalafil Hadîts, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin al-Ashfar, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. 2, 1419 H/1999 M, hlm. 335-336
[6] Imam Ibn Qayyîm al-Jauzî, al-Musykil min Hadîts as-Shahîhain, ditakhkik oleh DR. Ali Husain al-Bawwâb, Dar al-Wathan, cet. 1, 1418 H/1997 M, hadits, no: 2076/2581, vol. 3, hlm. 547
[7] Lihat: Musykilât al-Ahâdîts an-Nabawiyyah wa Bayânuhâ, vol. 1, hlm. 54
[8] yang dirampas dari mereka adalah sesajen yang dipersembahkan khusus untuk berhala-berhala. Kebanyakan mufassir menafsirkannya sebagai wangi-wangian dan madu yang dioleskan di bagian kepala patung-patung tersebut. Di lain sisi, Syekh as-Sya’râwî menafsirkannya dengan makanan dan darah hewan (korban) yang disembelih di dekat berhala-berhala mereka. [lihat: Abû Hayyan at-
Tauhîdî, al-Bahru al-Muhîth, vol. 6, hlm. 360, dan Tafsir as-Sya'râwî, vol. 16, hlm. 9933-9934]
[9] Lihat: Syekh Abîs as-Suûd al-Imâdî, Tafsir Abî as-Suûd, vol. 4, hlm. 397-398, dan Syekh Muhammad Thâhîr bin Ãsyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 17, hlm. 340


Sumber: dakwatuna.com

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More