Nama Salman Alfarisi begitu sangat mashur dan populer di kalangan para sahabat terlebih mengenai gagasannya membuat parit ketika kaum muslimin dikepung dalam perang Khandaq. Tak banyak yang menulis mengenai latar belakang sahabat Salman terkecuali tentang parit itu sendiri.
Padahal sesungguhnya sahabat Salman adalah seorang salik, pencari kebenaran. Ia adalah perantau dan penjelajah dalam tujuan menemukan kebenaran hakiki lahir bathin.
Sahabat Salman lahir dan tumbuh di kota Ishafan, Persia. Lahir dari keluarga kaya dan terpandang yang memiliki perkebunan dan panen melimpah serta rumah terbesar di daerahnya, terlebih karena ayahnya adalah seorang kepala desa.
Ayahnya begitu sangat mencintai sahabat Salman melebihi kecintaannya pada apapun.
Hal ini membuat sahabat Salman sering dipingit seperti layaknya seorang gadis yang lama terdiam di rumah karena takut kehilangan atau terjadi sesuatu yang tak berkenan.
Sahabat Salman pemeluk agama yang taat sebagaimana keyakinan ayahnya, yaitu Majusi. Karena ketaatannya sahabat Salman memiliki tugas penting dalam agama tersebut yaitu sebagai penjaga api sesembahan agar tetap menyala siang malam yang tidak boleh padam sama sekali.
Suatu ketika karena kesibukannya sebagai kepala desa, ayahnya memerintahkan sahabat Salman untuk merawat dan memetik hasil panen perkebunannya. Maka berangkatlah sahabat Salman menuju perkebunan ayahnya. Di tengah perjalanan sahabat Salman melewati sebuah gereja Kristen dan suara doa yang khusuk menarik perhatiannya untuk memasuki dan memperhatikan dan mengikuti peribadatan di gereja tersebut. Sahabat Salman mulai tertarik dan terkesan dengan ibadah orang-orang Kristen.
Sampai matahari terbenam, tubuh sahabat Salman tak bergeming tetap terpaku di dalam gereja. Hingga ia berkata dalam hatinya bahwa agama Kristen lebih baik daripada agamanya Majusi, penyembah api. Saat itu ia mendapat kabar bahwa agama Kristen berasal dari Syam (Syria) yang membuatnya berniat pergi ke sana. Saat sahabat Salman pulang kembali ke rumah, ayahnya bertanya mengenai keadaan perkebunannya.
“Hai Salman anakku, bagaimana keadaan perkebunan kita?” Tanya ayahnya.
“Aku tak jadi pergi ke sana ayah, tapi aku bertemu dengan orang-orang Kristen di gereja dan ibadah mereka sangat baik sehingga aku terkesan dengan kepercayaan mereka, sepertinya ibadah mereka lebih baik daripada agama kita” Salman menjelaskan kekagumannya.
Mendengar penjelasan anaknya Salman, ayahnya kaget dan marah bukan kepalang. Ayahnya meyakinkan bahwa agama Majusi adalah agama nenek moyang yang paling baik dan benar. Namun lagi-lagi sahabat Salman bersikeras menolak penjelasan ayahnya dan hal ini membuat ayahnya bingung dan takut kalau terjadi apa-apa. Akhirnya sahabat Salman dikunci rapat di rumah agar tak bisa bepergian jauh keluar.
Meski dalam kurungan rumah, sahabat Salman masih bisa mengirim dan menerima pesan dari orang-orang Kristen.
Pada suatu waktu sahabat Salman akhirnya bisa keluar dari rumah tanpa sepengetahuan ayahnya lalu pergi ke Syria. Di sana ia bertemu dengan pemimpin agama Kristen dan ditunjuki ke seorang uskup gereja. Lantas sahabat Salman berkata:
"Aku ingin menjadi orang Kristen dan mau mengikat diriku pada kebaktianmu, belajar darimu dan berdoa bersamamu."
Sang uskup setuju sepenuh hati dan menerima kehadirannya. Namun selama kenal dan bergaul bersama di gereja, sahabat Salman mengetahui bahwa uskup tersebut seorang korup yang selalu meminta jamaahnya mengeluarkan sumbangan untuk diberikan pada umat yang tak mampu dan miskin padahal sebenarnya ditimbun.
Ketika uskup tersebut meninggal dan hendak dikuburkan dengan terhormat, sahabat Salman bercerita mengenai praktik korupsinya dan menunjukan timbunan emas dan perak dalam sejumlah kendi besar. Melihat fakta demikian, uskup tersebut justru tak jadi dikubur tapi dipakunya di salib dan dilempari batu.
Selepas itu, pelayanan dan pengabdian sahabat Salman dilajutkan pada seorang uskup penggganti. Ia seorang uskup yang taat dan khusuk beribadah siang malam dan takut pada hari akhir. Pada uskup tersebut sahabat Salman berbesar hati dan banyak meluangkan waktu bersamanya. Selepas kematian uskup tersebut, sahabat Salman terus mengikuti berbagai tokoh agama Kristen di Mosul, Nisibis dan berbagai macam tempat lainnya.
Seiring petualangannya mencari kebenaran, sahabat Salman mendapatkan kabar dari seorang uskup terakhir yang ditemui bahwa ada seorang Nabi di tanah Arab yang akan memiliki reputasi yang sangat baik akan kejujuran. Nabi tersebut mau menerima pemberian hadiah tapi tak pernah memakan sedekah.
Dalam perjalanan menuju tanah Arab bersama serombongan pemimpin Arab dari suku Kalb, Sahabat Salman ditipu dan dijual sebagai budak kepada orang Yahudi. Namun dari orang Yahudi tersebut sahabat Salman berkesempatan pergi ke kota Yastrib (Madinah) dan bertemu dengan Nabi Muhammad.
"Aku telah mendengar bahwa anda adalah orang yang budiman dan anda memiliki sahabat yang belum aku kenal dan dalam keadaan membutuhkan. Ini adalah sedikit oleh-oleh aku bawakan sebagai sedekah. Aku lihat anda lebih membutuhkan dari yang lainnya." Berkata Sahabat Salman sambil memberikan sejumlah kurma yang banyak.
Nabi kemudian menyuruh para sahabatnya untuk memakannya tapi Nabi sendiri tidak memakannya. Karena melihat sikap Nabi yang demikian luhurnya sebagaimana diceritakan oleh beberapa uskup, sahabat Salman lantas menyatakan diri masuk Islam dan mengabdi pada Allah dan Rasulnya.
Kemudian Nabi pun membebaskan perbudakan dengan membayar sejumlah uang kepada tuannya yang beragama Yahudi. Akhirnya perjalanan sahabat Salman dalam mencari kebenaran lahir bathin, duniawi dan ukhrawi berujung pada Islam bersama Rasulullah dan para sahabatnya dengan meninggalkan segala macam kekayaan dan keluarganya di Persia. Hingga wafatnya sahabat Salman tetap istiqomah dalam menjalankan segala titah wahyu iman dan islam.
Penulis:
Yoma Mochammad
Guru SD Muhammadiyah 7 Bandung
0 komentar:
Posting Komentar